Jumat, 29 Maret 2013

MITOS DAN ASAL USUL RAWA PENING



 
Rawa Pening ("pening" berasal dari "bening") adalah danau sekaligus tempat wisata air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dengan luas 2.670 hektare ia menempati wilayah Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Rawa Pening terletak di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Danau ini mengalami pendangkalan yang pesat. Pernah menjadi tempat mencari ikan, kini hampir seluruh permukaan rawa ini tertutup eceng gondok. Gulma ini juga sudah menutupi Sungai Tuntang, terutama di bagian hulu. Usaha mengatasi spesies invasif ini dilakukan dengan melakukan pembersihan serta pelatihan pemanfaatan eceng gondok dalam kerajinan, namun tekanan populasi tumbuhan ini sangat tinggi. Menurut legenda, Rawa Pening terbentuk dari muntahan air yang mengalir dari bekas cabutan lidi yang dilakukan oleh Baru Klinthing. Cerita Baru Klinthing yang berubah menjadi anak kecil yang penuh luka dan berbau amis sehingga tidak diterima masyarakat dan akhirnya ditolong janda tua ini sudah berlalu.



Rawa ini digemari sebagai obyek wisata pemancingan dan sarana olahraga air. Disisi utara danau, hamparan besi berjajar kokoh terpancang. Rel kereta api yang menghubungkan Stasiun Ambarawa dengan Stasiun Tuntang membingkai sisi utara danau. Jikan anda beruntung maka bisa disaksikan Salah satu lokomotif dengan kode B 2503 buatan Maschinenfabriek Esslingen melintas dengan kepulan asap hitamnya. Lokomotif langaka hanya tinggal 3 yang masih tersisa di dunia yang saat ini selain di Swiss dan India. Kurang lengkap rasanya jika tidak melirik flora dan fauna yang menghuni Rawa Pening. Salah satu flora yang menjadi buah simalakama bagai perairan Rawa Pening adalah Eceng Gondok (Eichornia crassipes). Eceng gondong dengan perkembangbiakan vegetatif menjadi ledakan disaat menutupi sebagian besar permukaan danau. Volume air dapat dengan mudah disedot kepermukaan lewat laju transpirasi yang 7 kali lebih cepat oleh Eceng Gondok, selain itu penetrasi cahaya ke dalam danau juga terhambat. Disisi lain Eceng Gondok dimanfaatkan sebagai kerajinan, pupuk, dan tempat naungan ikan. Untuk keseimbangan ekositem rawa, maka Flora lain seperti Salvinia (Salvinia natans), Kangkung (Ipomoea reptans), Azola, Hidrilia dan aneka tanaman air menjadi penghuni tetap rawa. Berbagai fauna, seperti Biawak (Varanus salvator), burung kuntul (Bubulus coromandus), Bulus (Cylemis amboinensis), dan beraneka macam ikan air tawar.
http://i1.trekearth.com/photos/15302/rawa_pening4.jpg
Realitanya 19 anak sungai menjadi masukan air bagi Rawa Pening, dan hanya 1 sungai yang menjadi jalan keluar. Masuknya air yang menuju Rawa Pening bukanlah air sungai yang bersih, namun membawa material-material yang ikut larut dan terbawa arus sungai. Sungai-sungai yang menjadi masukan air Rawa Pening dimanfaatkan oleh masarakat yang tinggal disekitar sungai. Aktivitas rumah tangga hingga pertanian telah berkontribusi menyumbangkan material terlarut dalam perairan sungai yang selanjutnya terbawa arus menuju Rawa Pening. Limbah rumah tangga, seperti deterjen, kotoran, hingga sampah menjadi material yang ditemukan sepanjang sungai. Dari aktivitas pertanian juga memberikan sumbangsih terhadap bahan-bahan pencemar, seperti pestisida, limbah pertanian dan sisa pemupukan yang berlebihan.

Adapun kisah cerita legenda rawa pening, Berikut kisahnya dalam cerita legenda rawa pening:
Pada zaman dahulu di desa Ngasem hidup seorang gadis bernama Endang Sawitri. Penduduk desa tak seorang pun yang tahu kalau Endang Sawitri punya seorang suami, namun ia hamil. Tak lama kemudian ia melahirkan dan sangat mengejutkan penduduk karena yang dilahirkan bukan seorang bayi melainkan seekor Naga. Anehnya Naga itu bisa berbicara seperti halnya manusia. Naga itu diberi nama Baru Klinting.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLENadLxhoBHm5MGq_d-BeYQEFIjuPnC-xIw5GI0wBWhR8ZyYiX4f4CSHHjDn_hyIb_TmBXWikOIeWb76LTxprHiH0ODEW-g6LqYT_OgoLnieL6u5ckaK22stXj9SpbyIsdVeL263wtqvn/s1600/images.jpg

 Di usia remaja Baru Klinting bertanya kepada ibunya. Bu, “Apakah saya ini juga mempunyai Ayah?, siapa ayah sebenarnya”. Ibu menjawab, “Ayahmu seorang raja yang saat ini sedang bertapa di gua lereng gunung Telomaya. Kamu sudah waktunya mencari dan menemui bapakmu. Saya ijinkan kamu ke sana dan bawalah klintingan ini sebagai bukti peninggalan ayahmu dulu. Dengan senang hati Baru Klinting berangkat ke pertapaan Ki Hajar Salokantara sang ayahnya.

            Sampai di pertapaan Baru Klinting masuk ke gua dengan hormat, di depan Ki Hajar dan bertanya, “Apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar Salokantara?” Kemudian Ki Hajar menjawab, “Ya, benar”, saya Ki Hajar Salokantara. Dengan sembah sujud di hadapan Ki Hajar, Baru Klinting mengatakan berarti Ki Hajar adalah orang tuaku yang sudah lama aku cari-cari, aku anak dari Endang Sawitri dari desa Ngasem dan ini Klintingan yang konon kata ibu peninggalan Ki Hajar. Ya benar, dengan bukti Klintingan itu kata Ki Hajar. Namun aku perlu bukti satu lagi kalau memang kamu anakku coba kamu melingkari gunung Telomoyo ini, kalau bisa, kamu benar-benar anakku. Ternyata Baru Klinting bisa melingkarinya dan Ki Hajar mengakui kalau ia benar anaknya. Ki Hajar kemudian memerintahkan Baru Klinting untuk bertapa di dalam hutan lereng gunung.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjatXVgeT3oWx9-ZzaH6d913F6M-e_pNcIuEkHK3IpOEtfc619V4i8eOBPjzNwZ37uumq82uGlqciLldyzOkig5-NdnfbOxATg7GR3mdoqLXSjHP7jVXnM9jeE32eIZcHQEIAVG5fuFcIVs/s640/history-of-angklung-660x300.jpg

Suatu hari penduduk desa Pathok mau mengadakan pesta sedekah bumi setelah panen usai. Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagai macam tarian. Untuk memeriahkan pesta itu rakyat beramai-ramai mencari hewan, namun tidak mendapatkan seekor hewan pun. Akhirnya mereka menemukan seekor Naga besar yang bertapa langsung dipotong-potong, dagingnya dibawa pulang untuk pesta. Dalam acara pesta itu datanglah seorang anak jelmaan Baru Klinting ikut dalam keramaian itu dan ingin menikmati hidangan. Dengan sikap acuh dan sinis mereka mengusir anak itu dari pesta dengan paksa karena dianggap pengemis yang menjijikkan dan memalukan. Dengan sakit hati anak itu pergi meninggalkan pesta. Ia bertemu dengan seorang nenek janda tua yang baik hati. Diajaknya mampir ke rumahnya. Janda tua itu memperlakukan anak seperti tamu dihormati dan disiapkan hidangan. Di rumah janda tua, anak berpesan, Nek, “Kalau terdengar suara gemuruh nenek harus siapkan lesung, agar selamat!”. Nenek menuruti saran anak itu.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTB7SI56HgIRn_zTwrRdiH9YS3Aox8qhvfpJ39dlXSwphUUmad-VeSypsO95B_7K45HEpQ-zNtjSgRESh2mie8WWONk8EQiC00yG79thJakCSyTsGw8krCQL10ld5shGvTpAfIlM7WQqEN/s320/SDC11371.JPG

Sesaat kemudian anak itu kembali ke pesta mencoba ikut dan meminta hidangan dalam pesta yang diadakan oleh penduduk desa. Namun warga tetap tidak menerima anak itu, bahkan ditendang agar pergi dari tempat pesta itu. Dengan kemarahan hati anak itu mengadakan sayembara. Ia menancapkan lidi ke tanah, siapa penduduk desa ini yang bisa mencabutnya. Tak satu pun warga desa yang mampu mencabut lidi itu. Akhirnya anak itu sendiri yang mencabutnya, ternyata lubang tancapan tadi muncul mata air yang deras makin membesar dan menggenangi desa itu, penduduk semua tenggelam, kecuali Janda Tua yang masuk lesung dan dapat selamat, semua desa menjadi rawa-rawa.


Nilai-Nilai Dalam Mitosnya adalah

Kita tidak boleh melihat seseorang dari bentuknya dan fisiknya serta jangan menganiaya hewan secara kejam agar tidak terjadi hal yang seperti cerita dalam mitos ini.




Referensi :